# Tags
#Budaya #Ekonomi #Gaya Hidup #Politik #Sosial #Uncategorized @id

Krisis Kelahiran Negeri Ginseng: Akankah Korea Selatan Punah?

korea selatan
South Korea’s fertility rate sinks to record low despite $270bn in incentives (Sumber: https://www.theguardian.com/world/2024/feb/28/south-korea-fertility-rate-2023-fall-record-low-incentives#img-1)

Korea Selatan, yang terkenal dengan kemajuan berbagai sektornya, seperti budaya yang populer, teknologinya yang maju, dan kuliner yang menggugah selera, kini dihadapkan pada krisis demografi yang sangat mengkhawatirkan. Angka kelahiran di negara ini terus mengalami penurunan drastis. Bahkan, pada tahun 2023 tingkat kesuburan di negara “ginseng” ini hanya 0,72. Angka ini jauh di bawah angka 2,1 yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi yang stabil. Fenomena ini layaknya bom waktu bagi masa depan Korea Selatan. Akibatnya, akan ada kekurangan tenaga kerja, meningkatnya beban asuransi sosial, dan bahkan berkurangnya vitalitas ekonomi negara. Lantas, apa yang menyebabkan krisis populasi ini?

Sumber: https://www.statista.com/statistics/1403684/south-korea-birth-rate/

Dilansir dari CBS News, menurut Jin Sung Yoo, Presiden Korea Economic Research Institute (KERI) menyatakan bahwa kasus turunnya angka kelahiran ini diakibatkan oleh dampak pada karir mereka. Banyak masyarakat Korea Selatan yang menunda atau tidak ingin memiliki anak karena takut karir mereka terhambat. Perlu diketahui bahwa budaya kerja di Asia Timur, khususnya di Korea Selatan, terkenal sangat kompetitif dan menuntut. Banyak  pekerja yang menghabiskan waktunya hingga berjam-jam di kantor, sehingga mereka memiliki sedikit waktu bersama keluarga dan mengurus anak. Selain itu, tingginya biaya hidup yang tinggi, terutama di kota-kota besar di Korea Selatan. Biaya tempat tinggal, pendidikan, pengasuhan anak yang mahal menjadi beban yang besar bagi pasangan muda yang membuat mereka menunda atau mengurungkan niat untuk memiliki anak. Bahkan, menurut Jessica Ryu yang dilansir dari National Public Radio (NPR) mengatakan bahwa pekerja berusia 20 dan 20-an akan memiliki anak jika mereka punya tempat tinggalnya sendiri. Kemudian, masih terdapat kesenjangan gender yang cukup signifikan di Korea Selatan. Beban domestik dan pengasuhan anak masih banyak ditanggung oleh perempuan, sehingga mereka selalu mengalami dilema antara karir dan keluarga mereka. Di samping itu, masih adanya kesenjangan gaji berdasarkan gender, di mana perempuan hanya mendapatkan dua pertiga pendapatan dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan juga mulai fokus kepada pendidikan dan karir mereka ketimbang pernikahan dan kehamilan.

Keseimbangan antara pekerja dan keluarga menjadi hal yang penting untuk masalah ini, dengan meningkatkan pengambilan dan durasi cuti orang tua, meringankan beban biaya cutri orang tua bagi keluarga dan perusahaan, serta meminta perusahaan untuk melaporkan persentase karyawan pria yang mengambil cuti. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah pria yang mengambil cuti dan meringankan beban perempuan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Akan tetapi, rencana pemerintah untuk menaikkan batas jam kerja dari 52 menjadi 69 jam per minggu dapat memperburuk keseimbangan kehidupan kerja dan menyulitkan perempuan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga. Pemerintah Korea Selatan sendiri sedang mempertimbangkan solusi untuk menangani masalah ini. Berdasarkan infomrasi dari TIME, pemerintah telah memberikan voucher sebesar 2 juta won kepada orang tua yang melahirkan anak pertama mereka serta bonus 3 juta won untuk setiap anak tambahan. Tentu saja pemerintah terus meningkatkan anggarannya untuk bantuan biaya keluarga. Harapannya untuk meningkatkan angka kelahiran dan  mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang, hanya saja solusi berupa bonus ini tentu akan membebani anggaran pemerintah. Selain bantuan keuangan, pemerintah juga perlu berfokus pada kebijakan dan program yang meningkatkan kualitas hidup. Mengapa? Agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas akses ke layanan pengasuhan anak, dan membuat lingkungan yang semakin kondusif. Tentunya pemerintah saat ini sedang berusaha untuk memberikan solusi atau kebijakan untuk mengatasi penurunan kelahiran di negaranya.

South Korea’s fertility rate — already world lowest — drops again, giving it shrinking population (Sumber: https://www.abc.net.au/news/2023-02-22/south-korea-world-lowest-fertility-rate-drops-again/102010998)

Korea Selatan yang terkenal dengan kemajuan di berbagai bidang, kini dihadapkan pada krisis demografi yang mengkhawatirkan. Angka kelahiran yang terus menurun drastis bagaikan bom waktu bagi masa depan negara ini.  Krisis ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dampak negatif pada karir akibat budaya kerja yang menuntut dan beban domestik yang ditanggung perempuan, tingginya biaya hidup, dan kesenjangan gender yang masih persisten. Pemerintah Korea Selatan telah mengambil langkah-langkah seperti bonus biaya bayi dan tunjangan pengasuhan anak untuk mengatasi krisis ini. Namun, solusi yang lebih berkelanjutan juga diperlukan. Meningkatkan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga dengan memperpanjang cuti orang tua dan mendorong partisipasi ayah dalam pengasuhan anak, serta meningkatkan kualitas hidup dengan meningkatkan akses ke pendidikan dan layanan pengasuhan anak yang terjangkau, serta mengurangi kesenjangan gender, menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan.

 

 

K-Drama: Dari Layar Kecil ke Pengaruh Besar

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *