Maraknya Penyerangan Politisi di Korea Selatan: Pertanda Ancaman Demokrasi Negeri Ginseng Meningkat?

Dunia saat ini dikejutkan oleh berita penikaman politisi oposisi Korea Selatan, Lee Jae-
Myung, saat mengunjungi lokasi pembangunan bandara baru di Busan. Ia harus dilarikan ke
rumah sakit akibat luka tusuk di lehernya. Beruntung luka tusuk yang dialami oleh Lee tidak
mengancam nyawanya. Insiden ini bukan hanya tentang kekerasan terhadap individu, tetapi
juga mengindikasikan tantangan yang dihadapi demokrasi Korea Selatan. Namun, apa yang
melatarbelakangi munculnya aksi penikaman politisi ini? Dan Apakah hal ini menjadi
pertanda bahwa ancaman demokrasi Korea Selatan semakin meningkat?
Belum diketahui pasti motif dari penyerangan ini. Namun, dari kejadian tersebut, dapat diasumsikan bahwa penyerangan ini disebabkan oleh dinamika politik di Korea Selatan. Lee sendiri merupakan politisi yang posisinya sebagai pemimpin oposisi Partai Demokrat Korea Selatan dan menduduki kursi di badan legislatif Korea Selatan. Ia kalah tipis dengan lawannya, Yoon Suk Yeol, yang saat ini menjadi Presiden Korea Selatan pada pilpres 2022. Lee juga didakwa atas dugaan korupsi, namun ia membantah melakukan hal itu dan menganggap bahwa itu merupakan motif politik.
Sebenarnya, penyerangan terhadap politisi Lee Jae-Myung bukanlah fenomena baru di Korea Selatan; negara ini memiliki sejarah kejadian serupa yang memprihatinkan. Contohnya saja pada tahun 2022, Song Young-Gil, yang saat itu menjabat sebagai pemimpin Partai Demokrat Korea Selatan, mengalami serangan yang mengejutkan. Seorang penyerang tak dikenal menghampiri dan memukul kepalanya dengan palu. Beruntung, Song Young-Gil segera dilarikan ke rumah sakit dan mendapat pertolongan medis, sehingga mampu pulih dari cedera tersebut.
Tujuh tahun sebelum insiden tersebut, pada tahun 2015, sebuah serangan terhadap tokoh asing terjadi. Mark Lippert, yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat, diserang saat menghadiri sebuah forum unifikasi Korea di Seoul. Serangan tersebut mengakibatkan luka sayatan serius di wajahnya. Insiden ini bukan hanya mencerminkan risiko keamanan di dalam negeri, tetapi juga menimbulkan pertanyaan tentang hubungan internasional dan persepsi keamanan bagi pejabat asing di Korea Selatan.
Kemudian, pada tahun 2006 dilansir dari Los Angeles Times. Park Geun-hye, yang pada saat itu merupakan pemimpin dari partai oposisi konservatif, mengalami serangan saat ia menghadiri sebuah rapat umum. Menurut Lee Ke-jin, seorang anggota dewan dan pendukung dari Park, memberikan pandangannya kepada Yonhap, kantor berita Korea Selatan. Lee Ke-jin menyampaikan bahwa kejadian tersebut tampaknya berkaitan dengan “teror pemilu,” menunjuk pada kemungkinan bahwa insiden tersebut mungkin memiliki motif politik. Penggunaan istilah “teror pemilu” menimbulkan implikasi bahwa serangan itu mungkin dilakukan untuk menciptakan ketakutan atau untuk mempengaruhi dinamika politik, khususnya dalam pemilihan umum yang saat itu sering kali tegang dan kompetitif.
Penyerangan terhadap tokoh politik mengancam dasar demokrasi yang menghargai dialog dan perbedaan pendapat. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran tentang keselamatan para politisi dan menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana ketegangan politik dapat berujung pada kekerasan.
“Tindakan teror terhadap Ketua Lee Jae-myung jelas merupakan tantangan terhadap demokrasi dan ancaman terhadap demokrasi,” ujar pemimpin Partai Demokrat Hong Ik-pyo dalam sebuah rapat dewan pimpinan partai.
Sebenarnya, bagaimana kondisi demokrasi di Korea Selatan? Laporan indeks demokrasi dunia mencatat bahwa tingkat demokrasi di Korea Selatan pada tahun 2022 mengalami penurunan. Menurut Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat bahwa transisi dari Presiden Moon Jae-in ke Yoon Suk-yeol menyebabkan kemunduran demokrasi di Korea Selatan, dengan menyebutkan bahwa politik partai yang konfrontatif selama bertahun-tahun telah berdampak buruk pada demokrasi di negara tersebut. Sifat politik yang konfrontatif ini telah terlihat menyusutkan ruang untuk membangun konsensus dan kompromi, sering kali melumpuhkan pembuatan kebijakan dan memfokuskan energi politik pada persaingan dan bukan pada konsensus dan meningkatkan kehidupan warga negara.
Selama bertahun-tahun, politik yang berorientasi pada konfrontasi antarpartai telah merugikan demokrasi di Korea Selatan. Pendekatan dualistik yang keras dalam politik telah mengurangi kemampuan untuk mencapai kesepakatan dan kompromi, sering kali mengakibatkan pembekuan dalam proses pembuatan kebijakan. Banyak politisi lebih memilih untuk menghabiskan energi politik mereka dalam upaya menjatuhkan lawan daripada mencari konsensus untuk meningkatkan kehidupan warga. Akibatnya, skor dalam Indeks Demokrasi untuk budaya politik Korea Selatan menurun, karena masyarakat semakin frustrasi dengan proses demokratis dan kehilangan kepercayaan pada para pemimpinnya.
Ditambah lagi, kejadian penikaman ini juga menyoroti isu keamanan para politisi di Korea Selatan. Ini mengangkat pertanyaan tentang seberapa efektif sistem keamanan negara dalam melindungi tokoh publik. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa insiden seperti ini dapat membatasi kebebasan berekspresi dan berpartisipasi dalam politik. Jika para politisi merasa terancam, ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk terlibat dengan masyarakat secara terbuka dan transparan.
Kejadian penikaman Lee Jae-Myung di Korea Selatan punya dampak besar terhadap kebebasan dan keamanan dalam politik negara tersebut. Ketika seorang politisi terkenal seperti Lee dan politisi-politisi sebelumnya diserang, ini yang membuat orang-orang khawatir tentang keselamatan para politisi lain dan orang-orang yang kerja di pemerintahan. Ini yang bisa menjadi masalah besar, karena apabila orang-orang takut terlibat dalam politik atau berani berbicara tentang hal-hal yang penting tapi kontroversial, ini bisa menghambat kebebasan mereka untuk berbicara dan menyampaikan pendapat.
Misalnya, bayangkan kita ingin ikut dalam politik atau kita memiliki pendapat kuat tentang sesuatu yang penting, tapi kita takut karena melihat apa yang terjadi pada orang seperti Lee Jae-Myung. Kita mungkin jadi ragu-ragu untuk berbicara atau bahkan enggan terlibat sama sekali. Situasi seperti ini bisa bikin suasana ketakutan dan intimidasi, yang mana tidak bagus untuk demokrasi. Di demokrasi yang sehat, masyarakat seharusnya bisa berbicara dan berpartisipasi dalam politik tanpa takut akan kekerasan atau ancaman. Jadi, insiden seperti penikaman ini bukan cuma soal keamanan individu, tapi juga tentang seberapa bebas dan terbuka politik di suatu negara.
Keamanan para politisi menjadi salah satu kunci dalam menjaga integritas sistem demokrasi. Jika para politisi tidak dapat merasa aman, mereka mungkin enggan untuk terlibat secara terbuka dalam diskusi dan kegiatan politik. Penikaman Lee Jae-Myung yang baru saja terjadi menunjukkan adanya kekurangan dalam sistem keamanan yang harus segera ditangani untuk melindungi kebebasan berbicara dan menghindari pengaruh negatif terhadap proses demokratis. Selain itu, insiden seperti ini dapat mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah keamanan yang lebih ketat, yang pada gilirannya bisa berisiko membatasi kebebasan sipil. Keseimbangan antara keamanan dan kebebasan menjadi masalah kritis. Pemerintah seharusnya berhati-hati untuk tidak menggunakan insiden kekerasan sebagai alasan untuk memperkenalkan undang-undang atau kebijakan yang secara tidak proporsional membatasi kebebasan berbicara atau berkumpul.