Strategi Perkembangan Ekonomi Korea Selatan
Korea Selatan telah mengalami kondisi ekonomi yang buruk dan pembangunan yang cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya yang disebut dunia sebagai “Keajaiban Sungai Han.” Sungai Han atau Hangang adalah sungai utama di Korea Selatan, dengan beberapa anak sungai dan cekungan drainase di Korea Utara. Sungai ini merupakan sungai terpanjang keempat di semenanjung Korea setelah sungai Yalu (“Amnok”), Tumen (“Tuman”), dan Nakdong. Sungai ini berawal dari dua sungai kecil di pegunungan timur semenanjung Korea, yang kemudian bertemu di dekat Seoul (https://en.wikipedia.org/wiki/Han_River_(Korea)). Sungai Han adalah sungai yang juga berperan dalam sejarah perkembangan Korea Selatan, dan menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan Korea Selatan dengan Cina. “Keajaiban Sungai Han” berarti pertumbuhan ekonomi yang dicapai dalam kondisi kekurangan modal dan sumber daya, dan fasilitas industri yang hampir hancur akibat perang tiga tahun dari tahun 1950 hingga 1953. Pada tahun 1950-an, Korea Selatan masih diklasifikasikan sebagai negara miskin yang setara dengan Afrika dan Asia, di mana ekonominya masih bergantung pada sektor pertanian. Korea Selatan pernah berada di ambang kehancuran akibat pendudukan Jepang dan perang saudara antar-Korea yang terjadi pada saat itu, yang menyebabkan miskinnya sumber daya alam. Pada tahun 1960-an, Korea Selatan membatasi investasi asing langsung dan lebih memilih untuk meminjam dari luar negeri, hal ini dilakukan untuk mencegah melemahnya sektor industri dalam negeri yang disebabkan oleh investor asing. Pada tahun 1970-an, Korea Selatan membuka kembali investasi asing namun lebih menekankan pada sektor teknologi karena Korea Selatan menganggap bahwa industri dalam negeri mereka dapat bersaing dengan negara lain, dan hal ini membutuhkan teknologi untuk berkembang lebih pesat. Kemudian, Korea Selatan membentuk KOTRA (Korean Trade Promotion Agency) pada tahun 1980-an. KOTRA dibentuk untuk memberikan bantuan investasi kepada perusahaan-perusahaan Korea Selatan yang berada di luar negeri dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing chaebol dalam persaingan ekonomi global. Kebijakan ekonomi Korea Selatan berorientasi pada pasar, serta intervensi aktif dari pemerintah setempat. Selain itu, perkembangan ekonomi Korea Selatan tidak lepas dari aliansi antar negara dan pengusaha, dengan fokus pada transfer teknologi dan melindungi industri dalam negeri. Menurut Jun (2013), model pembangunan ekonomi ini merupakan kombinasi antara “pasar kapitalistik” dan “negara kapitalistik”. Pembangunan ekonomi yang berhasil membawa Korea Selatan lepas landas menjadi negara industri ini termasuk ke dalam tipe “authoritarian developmentalism” tidak hanya di Asia, namun juga terjadi di negara-negara seperti Taiwan, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Indonesia dalam rentang waktu yang cukup lama (Suehiro, 2000, 115). Tentunya hal ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena Korea Selatan pada tahun 1960an setara dengan Filipina dan Indonesia, namun hingga saat ini, Korea Selatan mampu unggul lebih jauh dari kedua negara tersebut. Strategi yang digunakan oleh Korea Selatan untuk mengembangkan perekonomiannya adalah dengan menjalin kerjasama yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Contohnya adalah kerjasama bilateral antara Korea Selatan dan Indonesia. Kerja sama antara Korea Selatan dan Indonesia diperkuat pada tanggal 25 September 2013, dengan adanya Working Level Task Force Meeting (WLTFM) yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pertemuan tersebut membuahkan beberapa hasil, antara lain kerja sama di bidang sosial budaya dan sektor ekonomi kreatif. Pengembangan industri kreatif ditandai dengan pembentukan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Korea Selatan (Depbudpar RI, 2008). Kerja sama ini meliputi pengembangan kapasitas dan dialog intensif, seperti magang dan kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Indonesia. Selanjutnya, kerja sama antara Korea Selatan dan Indonesia di bidang sosial budaya, yaitu dengan adanya program saling kunjung antar kedua negara, khususnya di bidang seni dan budaya. Kerja sama yang telah dilakukan oleh Korea Selatan dan Indonesia dalam industri perfilman dan ekonomi kreatif adalah Indonesia-Korea Cinema Global Networking 2016. Kerja sama ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi industri perfilman Korea Selatan dan Indonesia untuk mempromosikan produksi bersama antar negara (Afriantari, 2017). Selain kerja sama perfilman yang telah dilakukan, kedua negara juga telah menjalin hubungan kerja sama di sektor desain fashion. Dalam hal ini, kita juga dapat mengetahui bahwa Korea Selatan juga menggunakan strategi soft power untuk mengembangkan ekonominya. Soft power yang dilakukan oleh Korea Selatan terbilang cukup berhasil, dan Korea Selatan memiliki citra yang baik di mata dunia. Mengenai strategi Korea Selatan dalam mengembangkan perekonomian negaranya, aktor yang berperan penting selain pemerintah adalah perusahaan industri musik. Industri musik Korea berperan dalam membentuk ketertarikan masyarakat dunia terhadap Korea Selatan. Citra yang diciptakan Korea Selatan dalam kerjasama bilateral dengan Indonesia membuat kedua negara menjadi lebih dekat, namun hal tersebut dapat mempengaruhi kinerja dan perekonomian Korea Selatan.