Diplomasi Budaya Korea Melalui Hanbok
Diplomasi Budaya Korea Melalui Hanbok
Diplomasi budaya adalah upaya pemerintah untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat negara lain menggunakan budaya sebagai alat komunikasi, pendekatan budaya ini membantu pemerintah mencapai tujuannya secara efektif dan menyenangkan. Contoh konkret dari diplomasi budaya ini dapat kita lihat pada kegiatan bilateral antara Korea Selatan dan Indonesia, Korea Selatan membangun kerja sama dengan Indonesia sebagai bagian dari strategi nasionalnya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertahanan dalam menghadapi tantangan globalisasi. Salah satu contoh nyata adalah program Hanbok Experience yang diselenggarakan oleh Korean Cultural Center (KCC) Indonesia sebagai bagian dari upaya diplomasi budaya Korea Selatan. Dalam program ini, masyarakat Indonesia diberi kesempatan untuk mengenal lebih dekat apa itu Hanbok, yaitu pakaian tradisional Korea, melalui pengalaman langsung seperti mencoba mengenakan Hanbok, berfoto, dan bermain permainan tradisional Korea. Program ini dirancang untuk mempromosikan budaya Korea dan mempererat hubungan antara kedua negara, serta membangun citra positif Korea Selatan di mata masyarakat Indonesia. Hanbok adalah nama pakaian tradisional dari Korea. Di Korea Utara, pakaian ini dikenal dengan sebutan Choson-ot, sedangkan di Korea Selatan disebut Hanbok. Meskipun kita mengenal Hanbok sebagai pakaian orang Korea, penggunaannya saat ini lebih merujuk kepada gaya pakaian Dinasti Joseon, Hanbok dapat dipakai dalam acara formal, semi-formal, maupun dalam berbagai perayaan festival Korea, baik secara tradisional maupun modern. Hanbok memiliki sejarah perkembangan dari masa ke masa yang dimulai sejak 57 SM hingga masa kini.
Perkembangan sejarah Hanbok dari masa ke masa
Perkembangan Hanbok dimulai pada masa Periode Tiga Kerajaan (57 SM – 668 M), yang merujuk pada masa berdirinya Kerajaan Baekje, Silla, dan Goguryeo di Korea. Beberapa elemen dasar Hanbok seperti jeogori (baju), baji (celana), dan chima (rok) diduga sudah dipakai sejak dulu. Namun, pada masa Tiga Kerajaan inilah Hanbok mulai sering dikenakan dan berkembang. Pada era ini, para lelaki dan wanita menggunakan pakaian berukuran sepinggang dan celana panjang yang cukup ketat. Pada akhir periode Tiga Kerajaan, para wanita bangsawan mulai diperkenankan untuk menggunakan rok panjang, baju yang tidak ketat, dan mereka juga biasanya mengenakan jubah seukuran pinggang.
Pada periode Dinasti Goryeo (918 – 1392), perubahan Hanbok terjadi ketika adanya perjanjian damai dengan Kerajaan Mongol, yang juga melibatkan pernikahan antara Raja Goryeo dengan Ratu Mongol. Perubahan ini menyebabkan pakaian pegawai Goryeo berubah mengikuti gaya Mongol. Bagian roknya diubah menjadi lebih pendek, bajunya diikat ke bagian dada dengan pita yang lebar, dan didesain menjadi agak ramping. Selanjutnya, pada periode Dinasti Joseon (1397 – 1897), bagian baju (jeogori) dari Hanbok secara perlahan mulai berubah menjadi ketat dan pendek. Pada abad ke-16, baju atasan dibuat agak menggelembung dan panjangnya hanya mencapai bagian pinggang. Di akhir abad ke-19, muncul magoja, yaitu jaket bergaya Manchu yang masih sering digunakan hingga kini.
Pada masa kerajaan, warna Hanbok memiliki makna yang sangat penting, yang mana warna-warna ini melambangkan kedudukan sosial atau status perkawinan yang mengenakannya. Pemilihan warna Hanbok didasarkan pada lima elemen yin-yang: biru (elemen kayu), merah (elemen api), putih (elemen logam), hitam (elemen air), dan kuning (elemen tanah). Hanbok putih bisa digunakan oleh bangsawan maupun rakyat biasa. Warna putih melambangkan kejujuran, integritas, dan kemurnian jiwa, pada masa pendudukan Jepang, warna ini juga menjadi simbol patriotisme, pada saat itu Jepang melarang orang Korea memakai baju berwarna putih, namun para nasionalis sengaja memakainya untuk menentang penjajahan. Warna hitam melambangkan kecerdasan dan kebijaksanaan, Hanbok warna ini dipakai oleh para intelektual pada masa kerajaan, di zaman modern, Hanbok hitam dikenakan saat acara pemakaman. Hijau merupakan salah satu warna Hanbok yang cukup banyak dipakai meski tidak mewakili elemen yin-yang, warna ini adalah simbol awal yang baru, karna pada zaman dahulu Hanbok hijau hanya dipakai oleh perempuan yang sudah menikah. Hanbok berwarna biru kerap dipakai ketika musim semi karena melambangkan kelahiran dan juga harapan, selain bangsawan, rakyat biasa juga boleh memakai Hanbok berwarna biru. Kemudian dalam prinsip yin-yang, kuning melambangkan pusat alam semesta, pada masa kerajaan, Hanbok kuning digunakan secara terbatas untuk kaisar dan keluarga kerajaan. Dan untuk para bangsawan perempuan yang belum menikah, mereka menggunakan Hanbok kuning muda, namun saat ini, Hanbok kuning sudah bisa digunakan siapa saja tanpa memandang strata sosial. Merah melambangkan keberuntungan serta kekayaan. Dan yang terakhir ialah Hanbok merah yang kerap dipakai dalam acara pernikahan atau perayaan istana, dimana perempuan Korea yang akan menikah mengenakan Hanbok merah sebagai simbol harapan mendapat kemakmuran dan keberuntungan selama menjalani kehidupan rumah tangga.
Dahulu, warna Hanbok menandakan status sosial dan status perkawinan seseorang. Namun, pada masa kini, hal itu sudah tidak terlalu diperhatikan. Sekarang, pembuat Hanbok memiliki kebebasan untuk menggunakan berbagai warna tanpa harus mengaitkannya dengan status sosial atau kelompok tertentu. Hanbok modern sering kali disebut sebagai Hanbok gaeryang, yang menunjukkan pakaian modifikasi dari model tradisional. Pembaruan ini meleburkan pengaruh Barat dengan tetap mempertahankan elemen dasar dari Hanbok tradisional, seperti panjang rok dan celana, bahan kain, pola, warna, serta hiasan atau aksesorinya. Karena merupakan gabungan versi modern dan tradisional, Hanbok masa kini pun lebih mudah digunakan untuk sehari-hari. Meskipun lebih praktis, Hanbok modern dibuat dengan tetap memegang nilai, pesan, dan semangat tradisional Korea.