# Tags
#Uncategorized @id

Ketika Burun Bangau Makin Jarang Terbang ke Korea Selatan

Sumber : Illustration of the need for proper baby sleep (Unsplash/Minnie Zhou)

Bayangkan sebuah negeri di mana bangau, yang dikenal sebagai pembawa bayi, mulai kehabisan pekerjaan. Negeri ini adalah Korea Selatan, yang mengalami krisis demografi yang membuat bangau-bangau ini beristirahat lebih sering dari sebelumnya. Di negeri ini, pasangan muda lebih sering terlihat sibuk di kantor daripada di taman bermain bersama anak-anak. Mereka mungkin lebih sering menghadiri rapat penting dibandingkan dengan rapat PTA. Mengapa demikian? Yuk, kita intip alasannya!

  1. Angka Kelahiran Menurun

Angka kelahiran di Korea Selatan terus menurun dan telah mencapai tingkat terendah sepanjang masa. Pada tahun 2023, jumlah bayi yang baru lahir hanya mencapai 230.000, turun 7,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingkat kesuburan di negara ini juga mengalami penurunan hampir 8 persen, dengan rata-rata usia perempuan untuk melahirkan mencapai 33,6 tahun, yang merupakan usia tertua di antara anggota OECD. Jika tren ini terus berlanjut, populasi Korea Selatan diproyeksikan akan berkurang hingga setengahnya menjadi 26,8 juta jiwa pada tahun 2100. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar KRW 379,8 triliun (Rp 4.456 triliun) untuk meningkatkan tingkat kelahiran, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan. Beberapa penyebab utama dari rendahnya angka kelahiran di Korea Selatan termasuk biaya pengasuhan anak yang tinggi dan masyarakat yang sangat kompetitif, sehingga sulit bagi banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang baik.

  1. Biaya Hidup Yang Relatif Tinggi

Biaya hidup di Korea Selatan dikenal sebagai salah satu biaya hidup yang paling tinggi di Asia. Biaya makanan di Korea Selatan dapat berbeda-beda tergantung dari pilihan makanan dan lokasi. Harga makanan di restoran biasanya antara 6 hingga 12 ribu Won per porsi, sedangkan membeli makanan di pasar dapat lebih murah. Biaya makanan bulanan dapat berkisar antara 80 hingga 100 ribu Won atau setara dengan Rp1,8 hingga Rp2,2 juta per bulan. Selain makanan, biaya tempat tinggal juga menjadi komponen penting dalam biaya hidup di Korea Selatan. Biaya sewa untuk kamar di asrama biasanya berkisar antara 150 ribu hingga 250 ribu Won per bulan atau setara dengan Rp1,7 hingga Rp2,9 juta per bulan. Biaya listrik dan gas juga relatif tinggi, dengan konsumsi listrik yang besar di musim panas dan konsumsi gas yang lebih besar di musim dingin. Dalam rata-rata, biaya hidup di Korea Selatan dapat mencapai sekitar 1,000,000 Won per bulan atau setara dengan Rp11,5 juta per bulan, tergantung dari gaya hidup dan kecenderungan masing-masing orang.

  1. Populasi Lansia Yang Meningkat
Experts call for drastic measures as Korea braces for ultra-aged society 
By Lee Hyo-jin

Peningkatan jumlah lansia di Korea Selatan telah menjadi tren yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Statistics Korea, diperkirakan bahwa pada tahun 2070, jumlah lansia di Korea Selatan akan mencapai 46,4 persen dari total populasi, yang berarti hampir separuh dari penduduk Korea Selatan akan berusia 65 tahun ke atas. Hal ini menandai kenaikan tajam dari perkiraan sebesar 18 persen untuk tahun ini. Peningkatan ini disebabkan oleh tingkat kelahiran yang sangat rendah di negara tersebut, yang telah menurun secara terus-menerus selama 88 bulan berturut-turut. Dengan demikian, pemerintah Korea Selatan harus siap menghadapi tantangan demografis ini, termasuk meningkatkan kuota pendaftaran sekolah kedokteran dan meningkatkan akses ke layanan medis untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin tua.

  1. Kesenjangan Gender

Krisis demografi di Korea Selatan telah menimbulkan kesenjangan gender yang signifikan. Data menunjukkan bahwa jumlah pria yang belum menikah jauh lebih besar daripada perempuan yang belum menikah. Hal ini disebabkan oleh preferensi orang tua tradisional yang lebih memilih anak laki-laki daripada anak perempuan, serta praktik aborsi berdasarkan jenis kelamin beberapa dekade yang lalu. Kesenjangan ini sangat parah di daerah pedesaan, dengan proporsi pria yang belum menikah mencapai 34,9 persen di provinsi Gyeongsang Utara dan 33,2 persen di provinsi Gyeongsang Selatan. Kondisi ini disebabkan oleh perbedaan jumlah kelahiran anak laki-laki dan perempuan selama beberapa dekade, yang mulai melebihi rasio jenis kelamin alami pada tahun 1970-an dan tetap tinggi hingga akhir 1980-an dan pertengahan 1990-an.

 

Kesimpulan & Saran

Krisis demografi di Korea Selatan, yang ditandai dengan penurunan drastis angka kelahiran dan peningkatan populasi usia tua, menimbulkan tantangan signifikan bagi stabilitas sosial dan ekonomi negara tersebut. Meskipun pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini, seperti memberikan insentif finansial, menerapkan kebijakan keseimbangan kerja dan kehidupan, serta meningkatkan akses layanan pengasuhan anak, tantangan yang ada masih membutuhkan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan. Keberhasilan dalam menghadapi krisis demografi ini sangat penting untuk memastikan kesejahteraan generasi mendatang dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan.

Ketika Burun Bangau Makin Jarang Terbang ke Korea Selatan

BULGOGI: A Tantalizing Sweet and Savory Blend

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *