Rasisme di Korea Selatan: Tantangan Menuju Masyarakat Multikultural

Sumber foto: The New York Times
Korea Selatan telah mengalami transformasi luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Dari negara miskin pascaperang menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan budaya global. Namun di balik kemajuan itu, Korea Selatan masih menghadapi tantangan serius terkait rasisme dan diskriminasi terhadap orang asing.
Akar Historis Rasisme di Korea
Rasisme di Korea Selatan berakar pada sejarah panjang isolasi dan homogenitas etnis. Selama berabad-abad, Korea menganut filosofi “hermit kingdom” yang membatasi interaksi dengan dunia luar. Invasi dan penjajahan oleh negara asing juga memperkuat sentimen nasionalisme etnis.
Konsep “darah murni Korea” (순혈주의) masih tertanam kuat dalam identitas nasional. Banyak orang Korea masih memandang negaranya sebagai bangsa mono-etnis, meski kenyataannya populasi imigran terus bertambah. Pandangan ini menyulitkan integrasi orang asing ke dalam masyarakat Korea.
Manifestasi Rasisme di Era Modern
Saat ini, rasisme di Korea Selatan lebih sering muncul dalam bentuk mikroagresi dan diskriminasi halus, bukan kekerasan fisik terang-terangan. Beberapa contohnya:
– Penolakan masuk ke bar atau klub malam bagi orang kulit hitam atau Asia Tenggara
– Diskriminasi dalam pekerjaan dan perumahan terhadap pekerja migran
– Stereotip negatif dan penghinaan verbal terhadap orang asing
– Kurangnya representasi positif kelompok minoritas di media
Pekerja migran dari Asia Tenggara dan Asia Selatan sering mengalami diskriminasi paling buruk. Mereka dipandang rendah karena berasal dari negara miskin dan bekerja di sektor “3D” (dirty, dangerous, difficult).
Faktor-Faktor Penyebab
Beberapa faktor yang berkontribusi pada persistensi rasisme di Korea Selatan:
- Kurangnya pendidikan multikultural yang memadai
- Paparan terbatas pada keragaman etnis dalam kehidupan sehari-hari
- Pengaruh media yang memperkuat stereotip negatif
- Ketakutan akan hilangnya identitas budaya Korea
- Persaingan ekonomi dengan pekerja asing
Upaya Pemerintah dan Tantangannya
Pemerintah Korea Selatan telah menyadari perlunya kebijakan integrasi imigran yang lebih baik. Beberapa inisiatif telah diluncurkan, seperti:
– Pendirian Pusat Dukungan Keluarga Multikultural
– Kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran multikultural
– Pengenalan pendidikan multikultural di sekolah
Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan. Banyak program cenderung berfokus pada asimilasi sepihak, bukan integrasi dua arah. Selain itu, masih ada resistensi dari sebagian masyarakat yang menganggap multikulturalisme mengancam identitas Korea.
Peran Budaya Populer
Meningkatnya popularitas global budaya pop Korea (Hallyu) membawa dampak ganda. Di satu sisi, ini membuka mata orang Korea pada dunia luar. Namun di sisi lain, juga memunculkan ketegangan baru.
Banyak artis K-pop terinspirasi musik hip-hop, tapi sering dituduh melakukan apropriasi budaya. Beberapa idol juga terlibat kontroversi karena tindakan atau pernyataan rasis. Ini menunjukkan masih adanya kesenjangan pemahaman lintas budaya.
Harapan Perubahan
Meski tantangan masih besar, ada tanda-tanda positif. Generasi muda Korea cenderung lebih terbuka pada keberagaman. Aktivis anti-rasisme juga semakin vokal menyuarakan perubahan.
Untuk mencapai masyarakat yang benar-benar inklusif, Korea Selatan perlu:
- Memperkuat pendidikan multikultural sejak dini
- Meningkatkan representasi positif minoritas di media
- Menegakkan hukum anti-diskriminasi yang komprehensif
- Mendorong dialog lintas budaya yang bermakna
- Mengubah narasi identitas nasional menjadi lebih inklusif
Perjalanan menuju Korea Selatan yang benar-benar multikultural masih panjang. Namun dengan komitmen dari pemerintah dan masyarakat, perubahan positif bisa terwujud. Menghadapi rasisme dengan jujur adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih inklusif bagi semua orang di Korea Selatan.