# Tags
#Sosial

Pernikahan Multikultural: Menggali Dinamika Keluarga di Korea Selatan

Sumber foto: Knowing Korea

 

Pernikahan multikultural di Korea Selatan telah menjadi fenomena yang semakin menonjol dalam beberapa dekade terakhir. Dengan meningkatnya jumlah imigran dan pekerja asing, pernikahan antarbudaya telah berkembang pesat, menciptakan dinamika keluarga yang unik dan kompleks. Menurut statistik terbaru, pernikahan dengan pasangan asing meningkat sebesar 18,3 persen pada tahun 2023, mencapai sekitar 20.000 pernikahan baru. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan sosial di Korea Selatan, tetapi juga tantangan dan peluang dalam integrasi budaya. Pernikahan multikultural di Korea Selatan mulai meningkat sejak awal 1990-an, ketika banyak pria Korea mulai mencari pasangan dari negara lain seperti China, Filipina, dan Vietnam. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan demografis dan sosial yang mempengaruhi struktur keluarga tradisional Korea. Menurut penelitian, pada tahun 2020 terdapat sekitar 330.000 keluarga multikultural di Korea. 

Munculnya fenomena ini dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidakseimbangan gender dalam populasi yang siap menikah dan meningkatnya mobilitas internasional. Dalam konteks demografi, pernikahan multikultural juga dianggap sebagai salah satu solusi untuk menghadapi penurunan angka kelahiran dan penuaan populasi yang semakin signifikan di Korea Selatan. Pada 2019, sekitar 6% dari seluruh pernikahan yang terjadi di Korea Selatan adalah pernikahan antara warga Korea dan pasangan asing (Lee, 2019). Perkawinan semacam ini menciptakan tantangan baru dalam hal integrasi sosial dan kesejahteraan keluarga, yang mencerminkan perubahan besar dalam struktur sosial Korea.

Perbedaan Budaya dalam Keluarga

Pernikahan multikultural membawa serta perbedaan budaya yang seringkali menjadi sumber tantangan dalam kehidupan rumah tangga. Setiap pasangan membawa tradisi dan nilai-nilai dari budaya asal mereka ke dalam rumah tangga. Hal ini dapat memperkaya pengalaman keluarga, tetapi juga dapat menciptakan ketegangan jika tidak dikelola dengan baik. Bagi banyak perempuan asing, yang sebagian besar berasal dari Asia Tenggara, norma-norma keluarga di Korea Selatan bisa sangat berbeda dari apa yang mereka kenal di negara asal mereka. Salah satu aspek yang paling kentara adalah peran gender dalam rumah tangga. Di Korea Selatan, meskipun telah terjadi perubahan dalam peran perempuan, masih ada norma sosial yang menganggap perempuan sebagai pengurus rumah tangga utama dan pengasuh anak. Hal ini bisa menjadi beban bagi perempuan migran yang sebelumnya mungkin memiliki peran yang lebih aktif di luar rumah.

Selain itu, perbedaan dalam cara mendidik anak, merayakan hari raya, serta mengelola keuangan juga sering kali memunculkan ketegangan. Misalnya, dalam tradisi Korea, ada kewajiban untuk menghormati orang tua suami melalui ritual tertentu, sementara banyak istri dari luar Korea mungkin tidak terbiasa dengan kewajiban sosial semacam ini (Chung & Lee, 2020). Oleh karena itu, pemahaman terhadap budaya pasangan menjadi sangat penting untuk menjaga keharmonisan dalam keluarga multikultural.

Isu Diskriminasi dan Stigma Sosial

Pasangan multikultural sering kali menghadapi stigma sosial dari masyarakat sekitar. Masyarakat Korea yang cenderung homogen mungkin memiliki pandangan negatif terhadap pernikahan antarbudaya, yang dapat menyebabkan pasangan merasa terasing atau tidak diterima. Meskipun Korea Selatan telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam bidang ekonomi dan teknologi, masalah diskriminasi dan stigma sosial terhadap pasangan multikultural masih cukup terasa. Banyak perempuan migran dan anak-anak mereka yang sering menghadapi stereotip negatif di tempat kerja dan sekolah. Anak-anak dari pernikahan multikultural, misalnya, sering kali menjadi sasaran bullying di sekolah-sekolah Korea karena penampilan fisik mereka yang berbeda atau latar belakang etnis yang tidak “Korea.”

Di sisi lain, perempuan migran juga sering kali menghadapi pandangan yang merendahkan terhadap status mereka sebagai “istri impor” yang dianggap lebih rendah. Terkadang, mereka terpinggirkan dalam masyarakat dan tidak mendapatkan akses yang sama terhadap layanan sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat Korea untuk bekerja sama dalam mengurangi stigma dan diskriminasi ini, serta menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi keluarga multikultural.

Kebijakan Pemerintah dan Dukungan Sosial

Pemerintah Korea Selatan telah mulai mengembangkan berbagai kebijakan untuk mendukung keluarga multikultural, baik dalam aspek sosial, ekonomi, maupun budaya. Program pelatihan bahasa Korea untuk pasangan asing menjadi salah satu kebijakan utama yang bertujuan untuk mempermudah integrasi mereka ke dalam masyarakat Korea. Kelas-kelas bahasa Korea ini diberikan oleh berbagai lembaga pemerintah dan swasta, serta memberikan kesempatan bagi perempuan migran untuk memperbaiki keterampilan mereka dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Pemerintah juga telah mengembangkan program-program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang keberagaman budaya dan pentingnya inklusi sosial. Sebagai contoh, sejak 2014, telah dilakukan berbagai kampanye pendidikan yang berfokus pada penghapusan stereotip negatif terhadap pasangan multikultural dan anak-anak mereka (Kim & Lee, 2017).

 

Oleh: Aryanusa Ega Prasetya

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *