Multikulturalisme Korea Selatan dalam Aspek Politik

Sumber foto: CNN
Multikulturalisme memberikan anjuran terhadap negara-negara demokratis liberal untuk memberikan hak kolektif terhadap minoritas dalam memberikan kepastian akan keberlangsungan hidup agama, budaya, dan bahasa minoritas. Menurut Stuart Hall, multikultural tidak dapat terpisahkan dari dinamika sosial. Dalam rangka mengakui keberagaman di dalam sebuah masyarakat membutuhkan keterlibatan interaksi antara kekuasaan dan identitas dengan adanya kemungkinan dominasi atas kebudayaan lain. Menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme merupakan bentuk pendekatan yang memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman budaya di dalam masyarakat (Saputro, 2024).
Korea Selatan diyakini oleh warga negaranya merupakan negara yang mono-etnis dan mono-budaya. Dalam hal ini msih banyak warga negara Korea Selatan yang mengucilkan warga negara Korea Selatan yang tidak merupakan warga asli atau campuran. Meninjau Korea Selatan adalah negara yang homogen, munculnya fenomena multikulturalisme menjadi penting dalam konteks politik, khususnya pada kebijakan imigrasi, hak asasi manusia, dan integrasi sosial. Mulai tahun 1988, pemerintah Korea Selatan melakukan revisi undang-undang terkait imigrasi Korea. Pada pemerntahan Kim Young-Sam mulai memberikan izin imigrasi sementara terhadap para pekerja migran. Kemudian, pada pemerintahan Kim Dae-Jung mulai memberikan fasilitas terhadap imigrasi permanen dimana para migran yang telah menikah (Kelder, 2016).
Terjadinya peningkatan arus migrasi masuk ke Korea Selatan menimbulkan tekanan secara struktural untuk memberikan definisi ulang identitas nasional Korea Selatan yang awalnya mono-etnis dan mono-budaya menjadi multikultural. Identitas nasional Korea Selatan yang multikultural mulai diterapkan mulai tahun 2006 hingga saat ini. Hal ini dilatarbelakangi oleh peningkatan jumlah pekerja migran dan perkawinan internasional. Masuknya imigran ke Korea Selatan memiliki peluang akan kemunculan permasalahan integrasi dan sosial selama hidup di Korea Selatan.
Permasalahan-permasalahan ini mencakup kesehatan (mental dan fisik) khususnya bagi para pengungsi dari Korea Utara, permasalahan seputar mata pencaharian pengungsi, perbedaan kebudayaan dan bahasa, hingga permasalahan keuangan. Menurut Dr. Jeon Woo-taek, mencapai 80% pengungsi memiliki perasaan yang terpecah-pecah terkait uang. Terdapat satu permasalahan yang pasti terjadi terhadap migran adalah diskriminasi. Perubahan dari mono-kultural menjadi multikultural tentu membutuhkan sebuah proses yang panjang, salah satu diskriminasi yang terjadi ialah ditujukan kepada pengungsi Korea Utara dimana terdapat perbedaan logat berbicara.
Meninjau hal tersebut, apabila terus dibiarkan akan timbul pelanggaran hak asasi manusia terhadap migran. Hal ini berdampak pada keterlibatan banyak aktivis migran yang menyuarakan hak asasi manusia dan serikat buruh. Hasil dari kampanye terkait hal tersebut ialah pemberian hak kompensasi terhadap setiap pekerja magang yang mengalami cedera yang disebabkan kecelakaan kerja. Kemudian, pada tahun 1997, pemerintah Korea Selatan melakukan revisi ITS dan memberikan izin terhadap peserta pelatihan untuk memperoleh visa tiga tahun untuk melaksanakan magang selama dua tahun dan dua tahun bekerja.
Hukum imigrasi Korea Selatan terhadap pekeja migran melakukan adopsi bentuk etnosntris dan development yang memberdakan atas dasar ketiadaan etnisitas yang sama dan manfaat perekonomian yang diharapkan dari migrasi tenaga kerja ke Korea Selatan. Pada tahun 2007, pemerintah Korea Selatan mengesahkan Act on the Treatment of Foreigners in Korea yang memiliki tujuan untuk melakukan peningkatan perlindungan terhadap seluruh imigram. Disisi lain, pemerintah juga memgadakan program integrasi budaya dan bahasa terhadap seluruh pendatang melalui program Multicultural Family Support Centers. Melalui program tersebut seluruh pendatang diberikan pelatihan bahasa Korea, pendidikn terkait budaya, dan layanan pendukung bagi keluarga multikultural. Berdasarkan kebijakan ini sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah Korea Selatan atas pentingnya keberadaaan komunitas multikultural terhadap pertumbuhan sosial dan ekonomi negara (Anindita, 2020).
Komunitas multikultural masih terus berkembang di Korea Selatan, sementara itu pemerintah Korea Selatan masih berfokus terhadap isu-isu domestik tradisional mencakup hubungan antar-korea. Pemerintah Korea Selatan juga mengeluarkan kemudahan dalam proses naturalisasi pasangan internasional dan anak-anak dari pernikahan campuran. Disisi lain, partai politik juga masih belum sepenuhnya melakukan adopsi terkait multikulturalisme sebagai isu sentral dalam agenda politik utama.
Meninjau hal tersebut dapat kita lihat bahwa multikulturalisme di Korea Selatan dalam aspek politik masih berada pada tahapan awal pengembangan. Walaupun pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk memberikan dukungan terhadap komunitas multikultural, representasi dalam politik dan penerimaan sosial di Korea Selatan masih menjadi tantangan utama. Sehingga, masih memerlukan banyak pengembangan dari sisi politik Korea Selatang di masa mendatang.
Oleh: Tarisa Nabila A.
Further Reading:
Anindita, V. (2020). Gelombang Pengungsi Korea Utara di Korea Selatan: Politik Domestik, Integrasi dan Permasalahan Sosial. Jurnal Hubungan Internasional, 13(2), 279. https://doi.org/10.20473/jhi.v13i2.21296
Kelder, R. (2016). South Korea’s Multiculturalism – The State, Migration and Contested Ethnonationalism [Leiden University]. https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/42204
Saputro, F. F. (2024, December 10). Dosen Prodi HI UMM Bahas Tantangan Multikulturalisme di Korea Selaan. Sejuk.Id. https://sejuk.id/dosen-prodi-hi-umm-bahas-tantangan-multikulturalisme-di-korea-selatan/