Korea Selatan, yang terletak di Semenanjung Korea di Asia Timur, berada pada posisi geografis dan strategis yang menjadikannya pusat perhatian dalam dinamika politik global. Di antara dua kekuatan besar, Amerika Serikat dan Cina, Korea Selatan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan geopolitik di kawasan ini. Namun, posisi tersebut tidak hanya menawarkan peluang, tetapi juga tantangan diplomatik dan strategis yang signifikan bagi Seoul.
Hubungan Korea Selatan dan Amerika Serikat
Sejak Perang Korea (1950-1953), Amerika Serikat telah menjadi sekutu utama Korea Selatan. Melalui Perjanjian Pertahanan Bersama yang ditandatangani pada tahun 1953, kedua negara menjalin kemitraan keamanan yang kuat. Keberadaan pangkalan militer AS di Korea Selatan adalah simbol dari aliansi ini, dengan sekitar 28.000 tentara AS ditempatkan di negara tersebut untuk melindungi Korea Selatan dari ancaman Korea Utara(Arseno, 2019). Kerjasama ini tidak terbatas pada bidang militer. Amerika Serikat adalah mitra dagang penting bagi Korea Selatan, dengan hubungan perdagangan dan investasi yang terus berkembang. Perjanjian Perdagangan Bebas Korea-AS (KORUS FTA) yang disepakati pada tahun 2012, semakin memperkuat hubungan ekonomi kedua negara. Selain itu, nilai-nilai demokrasi yang dimiliki bersama juga menjadi dasar dari aliansi yang erat antara kedua negara. Namun, ada dinamika yang muncul dari hubungan ini. Pemerintah Korea Selatan sering menghadapi tekanan dari AS, terutama dalam kebijakan yang terkait dengan kawasan Indo-Pasifik dan upaya menghadapi pengaruh Cina. Ketergantungan militer pada AS juga menempatkan Korea Selatan dalam posisi sulit ketika harus menyeimbangkan kepentingan domestik dan permintaan sekutu.
Cina sebagai Mitra Ekonomi dan Rival Regional
Di sisi lain, Cina adalah mitra dagang terbesar Korea Selatan. Hubungan ekonomi antara kedua negara sangat dalam, dengan ekspor Korea Selatan ke Cina, seperti semikonduktor dan produk elektronik, menyumbang porsi besar dari total ekspornya. Dengan hubungan ini, stabilitas ekonomi Korea Selatan bergantung pada dinamika perdagangan dengan Cina.
Namun, hubungan kedua negara tidak selalu mulus. Ketika Korea Selatan mengizinkan pemasangan sistem pertahanan rudal THAAD (Terminal High Altitude Area Defense) yang didukung AS pada tahun 2016, Cina merespons dengan sanksi ekonomi tidak resmi, seperti membatasi pariwisata ke Korea Selatan dan mengurangi impor produk Korea. Hal ini menunjukkan bagaimana tekanan politik dapat berdampak pada hubungan ekonomi kedua negara (Akbar & Rustam, 2022). Cina juga memainkan peran penting dalam isu Korea Utara. Sebagai sekutu utama Pyongyang, Cina memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah pembicaraan denuklirisasi. Hal ini memberikan kompleksitas tambahan bagi Korea Selatan dalam
mengelola hubungan trilateral dengan AS dan Cina.
Dilema Strategis Korea Selatan
Korea Selatan menghadapi dilema yang kompleks di tengah perebutan pengaruh antara AS dan Cina. Di satu sisi, Seoul membutuhkan dukungan militer dari AS untuk menjaga keamanan nasional, terutama dalam menghadapi ancaman dari Korea Utara. Di sisi lain, Korea Selatan juga tidak bisa mengabaikan pentingnya hubungan ekonomi dengan Cina, terutama dalam konteks stabilitas ekonomi jangka panjang. Dilema ini semakin nyata dengan meningkatnya ketegangan antara AS dan Cina di berbagai bidang, termasuk teknologi, perdagangan, dan keamanan. Pada masa pemerintahan Presiden Moon Jae-in (2017-2022), Korea Selatan mencoba untuk mengambil posisi netral dengan memperkenalkan kebijakan “strategic ambiguity” atau ambiguitas strategis. Namun, strategi ini sering kali tidak memuaskan kedua pihak dan menimbulkan kritik baik dari dalam maupun luar negeri (Rustaman et al., 2023). Pemerintahan Presiden Yoon Suk-yeol (2022-sekarang) mengambil pendekatan yang berbeda dengan menekankan penguatan aliansi dengan AS, terutama dalam kerangka Indo-Pasifik. Langkah ini mendapat dukungan dari Washington tetapi memicu kekhawatiran akan reaksi negatif dari Beijing. Pendekatan Yoon menunjukkan bagaimana setiap keputusan strategis dapat membawa konsekuensi signifikan bagi hubungan internasional Korea Selatan.
Dampak pada Masyarakat Korea Selatan
Persaingan antara AS dan Cina juga berdampak pada masyarakat Korea Selatan. Sektor ekonomi menjadi salah satu yang paling terpengaruh, terutama karena ketergantungan pada pasar Cina dan investasi teknologi tinggi dari AS. Industri semikonduktor, yang merupakan tulang punggung ekonomi Korea Selatan, berada di tengah persaingan teknologi antara kedua negara besar tersebut (Aldikawati, 2015). Selain itu, masyarakat Korea Selatan juga semakin terpolarisasi dalam melihat posisi negaranya. Sebagian mendukung aliansi erat dengan AS demi keamanan dan stabilitas, sementara lainnya merasa bahwa Korea Selatan perlu menjaga hubungan yang seimbang dengan Cina untuk mempertahankan kepentingan ekonomi.
Masa Depan Diplomasi Korea Selatan
Untuk menghadapi tantangan ini, Korea Selatan perlu mengembangkan pendekatan diplomatik yang cermat dan fleksibel. Salah satu strategi potensial adalah memperkuat kerja sama regional dengan negara-negara lain di Asia Timur, seperti Jepang, ASEAN, dan Australia, untuk menciptakan keseimbangan kekuatan di kawasan. Selain itu, Korea Selatan juga dapat berperan sebagai mediator dalam persaingan global AS dan Cina dengan memanfaatkan posisinya yang unik(A., 2014). Diplomasi berbasis kepentingan nasional harus menjadi landasan utama kebijakan luar negeri Korea Selatan. Upaya untuk mengurangi ketergantungan pada satu pihak, baik dalam hal militer maupun ekonomi, dapat memberikan lebih banyak ruang bagi Korea Selatan untuk bermanuver di tengah dinamika geopolitik yang kompleks.
Penutup
Sebagai negara yang berada di tengah-tengah perebutan pengaruh dua kekuatan besar dunia, Korea Selatan harus mengambil langkah yang cerdas dalam mengelola hubungan dengan AS dan Cina. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini tidak hanya akan menentukan posisi Korea Selatan di kawasan, tetapi juga masa depan stabilitas dan kemakmuran negara tersebut. Dengan strategi yang tepat, Korea Selatan dapat menjadi pemain kunci dalam menjaga keseimbangan geopolitik di Asia Timur.
Further Reading:
A., M. F. (2014). Kepentingan Amerika Serikat dalam Upaya Memperbaiki Hubungan Bilateral Jepang – Korea Selatan Pasca Distorsi Sejarah. Jurnal Fisip, 1(2), 1–15.
Akbar, C. F., & Rustam, I. (2022). Respon Pertahanan China Terhadap Penyebaran Sistem Pertahanan Anti-Rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) Amerika Serikat di Korea Selatan. Indonesian Journal of Peace and Security
Studies (IJPSS), 4(1), 82–99. https://doi.org/10.29303/ijpss.v4i1.109
Aldikawati, M. (2015). MASA DEPAN REUNIFIKASI KOREA (Dinamika Hubungan Korea Utara-Korea Selatan dan Dampaknya Terhadap Stabilitas Keamanan di Kawasan Asia Timur Pasca Perang Dingin). Jurnal Polinter : Kajian Politik Dan Hubungan Internasional, 1(1), 33–61. https://doi.org/10.52447/polinter.v1i1.63
Arseno, A. (2019). Containment Amerika Serikat terhadap Fenomena Rise of China dalam Perspektif Hegemoni Realisme. Jurnal Hubungan Internasional, 12(1), 167. https://doi.org/10.20473/jhi.v12i1.12442
Rustamana, A., Nur Afiah, W., & Rahmawati, R. (2023). Intervensi Kekuatan Global Dari Dominasi Ekonomi Menjadi Dominasi Politik Dalam Pemisahan Korea. Sindoro CENDIKIA PENDIDIKAN, 2(6), 10–20. https://doi.org/10.9644/scp.v1i1.332