Korea Selatan merupakan salah satu negara maju yang terletak di Asia Timur, sebagai negara maju Korea Selatan seringkali dilihat oleh dunia Internasional baik dalam segi perekonomian, budaya, kuliner, industri kpop ataupun kdrama. Akan tetapi perkembangan korea selatan tidak sejalan dengan perkembangan pemahaman masyarakat tentang keadilan gender yang sebenarnya, yang dimana dibuktikan dengan masih adanya budaya patriarki ataupun kekerasan berbasis gender. Gender sendiri secara etimologi dari Bahasa latin “genus” yang berarti jenis atau tipe, sedangkan secara terminology dapat diartikan sebagai pembeda antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil dari kosnstruk sosial. Konstruk sosial memiliki maksud sebagai segala sesuatu yang bisa berupa pandang yang lahir dari budaya yang dibangun atau diciptakan oleh kelompok masyarakat. Karena sifatnya yang merupakan konstruk sosial, maka gender memiliki sifat yang bisa dipertukarkan kepada laki-laki maupun perempuan.
Perbedaan gender tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun kenyataannya pemahaman perbedaan gender yang salah dapat menjadikan suatu masalah yakni ketidakadilan baik laki-laki terutama perempuan. Ketidakadilan gender muncul dari system yang membuat kedua belah pihak menjadi korban. Manifestasinya dapat terllihat dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi ekonomi, subordinasi dalam keputusan politik, stereotype negatif, kekerasan, beban kerja lebih berat dan lain-lain. Berdasarkan dari bentuk-bentuk ketidakadilan gender masyarakat di Korea Selatan secara sadar ataupun tidak, seperti dipengaruhi oleh faktor budaya karena telah menjadi tradisi dan turun temurun sehingga bentuk-bentuk ketidakadilan gender tersebut masih ada. Masalah tersebut seringkali atau lebih banyak dialami oleh perempuan-perempuan, baik dalam ranah keluarga, sekolah, serta pekerjaan. Menurut ‘Laporan Kesenjangan Gender Global 2023’ yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada hari Selasa (20/06), indeks kesetaraan gender Korea Selatan mencatat 0,680, menduduki peringkat ke-105 dari 146 negara, dan turun 6 peringkat dari peringkat ke-99 pada tahun lalu.
Dengan melihat data tersebut dapat menjadi bukti bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan gender di Korea Selatan masi marak-maraknya terjadi terutama kepada perempuan. Dalam ranah publik yakni pekerjaan perempuan yang bekerja di Korea Selatan kerap perlakuan diskriminasi seperti gaji yang diperoleh lebih sedikit dari pada laki-laki, Kementerian dan Keluarga Korea Selatan mengatakan kesenjangan upah antar-gender tercatat 31,1 persen pada tahun 2021. Dibandingkan tahun 2017, kesenjangan tersebut menyempit 3,5 persen, namun tetap merupakan kesenjangan terbesar di antara negara-negara OECD. Selain itu promosi di dunia pekerjaan seringkali mengutamakan laki-laki karena perempuan dipandang memiliki banyak masalah yang ada di dirinya seperti menstruasi, melahirkan yang dapat menghambat pekerjaan. halnya mengurus rumah tangga, hamil, melahirkan, mengurus anak dan Perempuan juga dianggap tidak bisa bekerja dengan maksimal. Bagaimana partisipasi perempuan dalam politik juga dapat membuktikan ketidak adilan gender di Korea Selatan, keterlibatan perempuan dapat menjadi suatu kemajuan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan perempuan. Namun pada faktanya sangat disayangkan keterlibatan perempuan dalam wilayah politik terutama anggota parlemen masih sangat terbatas, hal ini bisa dilihat dari pemilihan Majelis Nasional Ke-20 tahun 2016 dari total seluruh kursi, perempuan di Korea Selatan hanya mampu menjadi anggota parlemen sebanyak 17%. UN Women juga mengemukakan bahwa berdasarkan data pemilihan Majelis Nasional Ke-21 dari total 300 kursi, perempuan Korea Selatan hanya bisa menempati 19% kursi di Parlemen.
Isu-isu diatas termasuk ketidak adilan gender terhadapa perempuan dalam ranah publik, dalam domestik sendiri dapat berangkat dari ajaran Konfusianisme pada kaum Yangban Zaman Joseon (1392-1910). Konfusianisme sendiri merupakan ajaran yang memfokuskan pada tatanan moral dan kehidupan beretika, serta mengatur hubungan antara manusia satu dengan manusia lain. Perempuan juga diatur khusus dalam ajaran ini untuk mencapai “perempuan berbudi luhur”dan kebajikan dalam ajaran Konfusianisme. Di Zaman itu perempuan Yangban menghabiskan sebagian besar hidup mereka di rumah, perolehan Pendidikan terbatas dan biasanya hanya untuk mempersiapkan diri meeka dalam menjalankan tugas sebagai istri dan ibu yang baik, seperti keterampilan dalam mengurus rumah tangga, memasak, menenun, menyulam, menjahit dan lain sebagainya. Tujuan utama dari Pendidikan ini tidak lain untuk memenuhi karakteristik ideal yang harus dimiliki olehs seoraang perempuan berbudi luhur menurut ajaran konfusianisme. Pengaruh ajaran ini masih dilakukan oleh masyarakat Korea Selatan seperti perempuan dibatasi dalam urusan publik dan hanya difokuskan kepada urusan-urusan domestic, pekerjaan-pekerjaan rumah juga sering kali menjadi beban ganda yang harus diterima oleh perempuan yang bekerja, kekerasan dalam rumah tangga juga bisa terjadi karean laki-laki atau suami dalam suatu keluarga menganggap dirinya lebih superior karena seorang lelaki dan merasa harus dilayani oleh istrinya secara terus menerus tanpa mempedulikan hak-hak nya seorang istri.
Bentuk-bentuk ketidak adilan gender diatas merupakan suatu isu yang menurut saya harus sesegera mungkin disikapi. Isu ini adalah suatu hal yang dapat menganggu kebebasan perempuan dan akan berdampak ke hal-hal yang lainnya, oleh karena isu ini merupakan suatu hal yang terbilang cukup besar penyikapan atasnya tidak hanya memungkinkan dari beberapa unsur saja, masyarakat, pemerintah harus bersatu untuk melawan isu ini. Pemahaman keadilan gender adalah pemahaman yang harus dipahamai setiap masyarakat ataupun pemerintah, yang akan nantinya memengaruhi peran individu dalam masyarakat. Dengan pemahaman keadilan gender yang baik kita dapat mengenali dan melawan berbagai bentuk ketidakadilan dan diskriminasi yang sering kali disebabkan oleh stereotype dan norma gender yang tidak adil. Pemahaman tentang hakl ini sanagat penting dalam mendorong kesetaraan dan inklusi, baik dalam rumah tangga dan pelecehan seksual yang sering diabaikan oleh masyarakat, dalam pembangunan sosial ekonomi juga membantu meminimalisir masyarakat atau kelompok tertentu yang tertinggal.