# Tags
#Pendidikan

Di Balik Gemerlap Pendidikan Korea Selatan: Prestasi Dunia yang Menyisakan Beban Berat bagi Generasi Muda

Sumber foto: Broken Chalk

 

Sistem pendidikan Korea Selatan dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Prestasi siswa Korea dalam berbagai tes internasional, seperti Programme for International Student Assessment (PISA), sering kali menempatkan negara ini di posisi atas. Namun, di balik kesuksesan ini, terdapat sisi gelap yang jarang dibicarakan secara mendalam. Generasi muda Korea menghadapi tekanan yang luar biasa dari sistem pendidikan yang sangat kompetitif, hingga memunculkan fenomena sosial yang disebut “Hell Joseon”. Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan dan kelelahan masyarakat, terutama kaum muda, terhadap sistem Qpendidikan dan kehidupan sosial-ekonomi yang dianggap tidak adil.

Tekanan Akademik: Budaya Kompetisi yang Mendominasi

Sejak usia dini, siswa di Korea Selatan diajarkan bahwa pendidikan adalah kunci kesuksesan. Hal ini diperkuat oleh tradisi Konfusianisme yang menekankan pentingnya pembelajaran. Namun, fokus yang berlebihan pada pendidikan formal menciptakan tekanan luar biasa.

Salah satu aspek yang paling mencolok adalah persiapan ujian masuk universitas, yang dikenal sebagai “suneung”. Ujian ini dianggap sebagai momen yang menentukan masa depan siswa. Para siswa menghabiskan bertahun-tahun untuk mempersiapkan diri, sering kali mengikuti les tambahan di hagwon (lembaga bimbingan belajar swasta) hingga larut malam. Menurut data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), nilai College Scholastic Ability Test (CSAT) menentukan 70% kriteria masuk di universitas Korea .

Tekanan ini tidak hanya berasal dari sekolah, tetapi juga dari keluarga. Orang tua Korea, dalam upaya memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka, sering kali menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk pendidikan tambahan. Menurut Korea Statistical Information Service (KOSIS), sekitar 12% pengeluaran rumah tangga digunakan untuk pendidikan anak, salah satu yang tertinggi di dunia.

Dampak pada Kesehatan Mental dan Sosial

Tekanan akademik yang begitu besar memberikan dampak signifikan pada kesehatan mental siswa. Korea Selatan memiliki salah satu tingkat bunuh diri tertinggi di dunia. Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri paling tinggi di antara negara-negara OECD sejak 2009. Dalam survei yang dilakukan oleh National Youth Policy Institute, 39,8% siswa menyebut tekanan akademik sebagai alasan utama mereka merasa depresi.

Fenomena ini berkontribusi pada munculnya istilah “Hell Joseon”, yang mencerminkan rasa frustrasi generasi muda terhadap kehidupan yang penuh tekanan. Istilah ini menjadi populer di media sosial dan forum online, digunakan untuk menggambarkan sistem yang dirasa tidak memberikan peluang adil bagi semua orang.

Fenomena “Hell Joseon” dan Generasi Muda

“Hell Joseon” bukan hanya tentang sistem pendidikan, tetapi juga tentang persepsi ketidakadilan di bidang pekerjaan dan kehidupan sosial. Banyak lulusan universitas ternama merasa sulit mendapatkan pekerjaan yang stabil meskipun memiliki kualifikasi akademik yang tinggi. Dalam survei oleh Korea Research Institute for Vocational Education & Training (KRIVET), 46% lulusan baru merasa bahwa sistem perekrutan tidak transparan dan lebih mengutamakan koneksi dibandingkan kemampuan.

Generasi muda Korea sering kali merasa terjebak dalam sistem yang tidak memungkinkan mereka untuk mencapai keseimbangan hidup. Mereka harus menghadapi persaingan ketat tidak hanya dalam pendidikan, tetapi juga di pasar kerja yang semakin kompetitif.

Upaya Perubahan: Reformasi dan Tantangan

Menyadari dampak negatif dari tekanan akademik, pemerintah Korea Selatan telah berupaya melakukan reformasi. Salah satu langkah yang diambil adalah membatasi jam operasi hagwon hingga pukul 22.00 dan mengurangi beban kurikulum di sekolah. Selain itu, beberapa sekolah mulai memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler untuk membantu siswa menemukan minat di luar akademik.

Namun, reformasi ini masih menghadapi tantangan besar. Budaya masyarakat yang sangat menghargai nilai akademik membuat perubahan berjalan lambat. Selain itu, sistem pendidikan yang berorientasi pada ujian sulit diubah dalam waktu singkat.

Di sisi lain, beberapa organisasi non-pemerintah mulai memberikan perhatian pada kesehatan mental siswa. Program konseling dan dukungan psikologis mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah, meskipun masih belum mencukupi kebutuhan yang ada. Berikut adalah beberapa di antaranya yang memberikan dampak signifikan:

Not Scary

Organisasi ini menyediakan program rehabilitasi untuk individu yang mengalami isolasi sosial, termasuk siswa yang menderita akibat tekanan akademik. Mereka menawarkan dukungan berkelanjutan dan menciptakan ruang aman bagi siswa untuk berbagi pengalaman serta mencari solusi bersama. 

Korea Association for Suicide Prevention (KASP)

KASP berfokus pada pencegahan bunuh diri, termasuk di kalangan siswa. Mereka bekerja sama dengan sekolah untuk menyediakan pelatihan bagi guru dan staf dalam mendeteksi tanda-tanda stres berat atau depresi pada siswa. 

Korean Neuropsychiatric Association (KNPA)

KNPA mengadakan seminar dan lokakarya yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, baik untuk siswa maupun orang tua. 

Open Up

Platform ini menyediakan layanan konseling online yang dirancang khusus untuk remaja dan dewasa muda. Siswa yang merasa tidak nyaman berbicara langsung dengan konselor dapat menggunakan layanan ini untuk mendapatkan dukungan psikologis dengan cara yang lebih privat dan mudah diakses.

Korea Youth Counseling & Welfare Institute (KYCI)

KYCI menyediakan layanan konseling dan program kesejahteraan remaja. Bersama berbagai NGO, mereka mengembangkan program khusus untuk siswa yang menghadapi tekanan akademik, seperti sesi meditasi, pelatihan manajemen waktu, dan kegiatan rekreasi.

Menuju Sistem Pendidikan yang Lebih Seimbang

Sistem pendidikan Korea Selatan telah berhasil mencetak banyak prestasi di tingkat global, tetapi keberhasilannya datang dengan harga yang mahal. Tekanan akademik yang berlebihan telah menciptakan generasi muda yang merasa terasing dan tidak puas dengan kehidupan mereka.

Fenomena “Hell Joseon” adalah pengingat bahwa keberhasilan akademik tidak seharusnya dicapai dengan mengorbankan kesehatan mental dan keseimbangan hidup. Dibutuhkan reformasi yang lebih menyeluruh, tidak hanya pada sistem pendidikan, tetapi juga dalam budaya masyarakat yang menempatkan nilai berlebihan pada prestasi akademik.

 

Oleh: Vanis Gadis A.

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *