# Tags
#Budaya

Putih adalah Hak Eksklusif Sang Pengantin: Memahami Etiket Berpakaian dalam Pernikahan Korea

Pernikahan dalam budaya Korea memiliki definisi yang mendalam dan kompleks, mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai tradisional dan modernitas yang terus berkembang. Secara fundamental, pernikahan di Korea dipahami sebagai ikatan sakral antara pria dan wanita yang tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar. Dalam tradisi Korea, konsep “daun-gyo-ri-won” atau takdir pernikahan masih dipegang teguh, yang menyiratkan bahwa pertemuan dan penyatuan dua insan telah ditakdirkan oleh surga. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, definisi pernikahan di Korea telah mengalami transformasi yang signifikan. Di era modern, pernikahan tetap dipandang sebagai tonggak penting dalam kehidupan seseorang, namun telah mengalami pergeseran dari kewajiban sosial murni menjadi pilihan pribadi yang lebih demokratis. Secara hukum, pernikahan di Korea mensyaratkan usia minimum 18 tahun dengan persetujuan kedua belah pihak, dan harus didaftarkan secara resmi ke kantor pemerintah setempat.

Meskipun pandangan modern telah memberi ruang lebih besar bagi individualisme dalam pemilihan pasangan, aspek status sosial dan ekonomi masih memegang peranan penting dalam pertimbangan pernikahan di Korea. Pernikahan juga dipandang sebagai institusi yang vital untuk melanjutkan garis keturunan keluarga, meskipun tekanan untuk hal ini telah berkurang dibandingkan masa lalu. Dalam konteks sosial Korea kontemporer, pernikahan telah menjadi perpaduan unik antara penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional dan adaptasi terhadap tuntutan modernitas, di mana pasangan memiliki lebih banyak kebebasan dalam menentukan masa depan mereka sambil tetap mempertimbangkan ekspektasi keluarga dan masyarakat. Dimensi legal pernikahan di Korea juga telah berkembang untuk mengakomodasi realitas global, termasuk pernikahan internasional yang kini diperbolehkan dengan persyaratan tertentu, mencerminkan keterbukaan masyarakat Korea terhadap perubahan sosial sambil tetap mempertahankan esensi budaya mereka.

Di Korea Selatan, pernikahan bukan sekadar momen sakral penyatuan dua insan, tetapi juga merupakan perayaan yang sarat akan tradisi dan etiket sosial yang harus dipatuhi. Salah satu aturan tidak tertulis yang menarik perhatian adalah larangan bagi para tamu undangan untuk mengenakan gaun berwarna putih. Tradisi ini mencerminkan nilai-nilai penghormatan yang mendalam terhadap pengantin dalam budaya Korea. Dalam budaya Korea, warna putih memiliki makna yang sangat istimewa dalam konteks pernikahan. Warna ini melambangkan kemurnian, kesucian, dan awal yang baru bagi pasangan pengantin. Ketika seorang pengantin mengenakan gaun putih, ia tidak hanya mengikuti tren modern, tetapi juga merepresentasikan momen spesial yang hanya terjadi sekali seumur hidup.

Larangan mengenakan gaun putih bagi tamu undangan bukanlah aturan yang tertulis dalam undang-undang, melainkan sebuah etiket sosial yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Korea. Konsep “nunchi” atau kepekaan sosial dalam budaya Korea menekankan pentingnya menghormati dan tidak mengambil perhatian dari tokoh utama dalam sebuah acara.

Di era digital dan media sosial saat ini, larangan ini menjadi semakin relevan. Foto-foto pernikahan yang akan diabadikan dan dibagikan di berbagai platform media sosial menjadikan pemilihan busana tamu semakin krusial. Pengantin wanita, yang telah mempersiapkan hari istimewanya dengan sangat teliti, seharusnya menjadi satu-satunya yang menonjol dengan gaun putihnya. Para perencana pernikahan di Korea bahkan sering mencantumkan panduan berpakaian dalam undangan, yang secara eksplisit menyebutkan untuk menghindari penggunaan pakaian berwarna putih. Hal ini membantu mencegah situasi canggung dan memastikan semua tamu dapat berpartisipasi dalam merayakan hari bahagia pengantin dengan cara yang tepat.

Para tamu undangan didorong untuk memilih warna-warna yang elegan namun tidak terlalu mencolok. Warna-warna pastel, biru navy, merah marun, atau hijau sage menjadi pilihan populer yang dianggap sopan dan sesuai untuk acara pernikahan. Yang terpenting adalah memilih busana yang menunjukkan penghormatan terhadap acara sakral tersebut tanpa mengambil perhatian dari pasangan pengantin. Melanggar etiket ini bisa mengakibatkan ketidaknyamanan sosial yang signifikan. Tamu yang mengenakan gaun putih mungkin akan menjadi bahan pembicaraan dan dianggap tidak memiliki kepekaan sosial. Dalam masyarakat Korea yang sangat mementingkan harmoni sosial dan “nunchi”, hal ini bisa berdampak pada reputasi seseorang dalam lingkungan sosialnya.

Menariknya, tradisi ini mulai diadopsi di berbagai negara lain, menunjukkan bagaimana nilai-nilai penghormatan dalam budaya Korea resonan secara universal. Di banyak negara Barat, larangan mengenakan putih di pernikahan orang lain juga mulai menjadi norma sosial yang diterima secara luas. Tradisi ini mencerminkan aspek yang lebih dalam dari budaya Korea – penekanan pada kesopanan, penghormatan, dan kesadaran akan peran seseorang dalam momen penting orang lain. Ini bukan sekadar aturan fashion, tetapi merupakan manifestasi dari nilai-nilai sosial yang mengutamakan harmoni dan penghargaan terhadap momen spesial dalam kehidupan seseorang. Dalam konteks modern, di mana individualisme sering diutamakan, tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya menghormati momen istimewa orang lain dan berpartisipasi dalam perayaan mereka dengan cara yang tepat dan penuh pertimbangan.

 

Oleh: Dyska Amelia

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *