# Tags
#Keamanan #Politik #Politik Korea

Denuklirisasi Semenanjung Korea dan Tantangan Diplomasi Korea Selatan

Sumber foto: Jawa Pos

 

Ketegangan di Semenanjung Korea telah menjadi salah satu isu keamanan internasional yang paling kompleks selama beberapa dekade terakhir. Upaya Korea Selatan untuk mendorong denuklirisasi kawasan ini terus menghadapi tantangan besar, mulai dari sikap defensif Korea Utara hingga dinamika geopolitik global yang tidak menentu. Diplomasi tradisional yang dilakukan oleh Korea Selatan sering kali tidak efektif dalam menghadapi berbagai hambatan yang muncul. Salah satu faktor utama yang menghambat upaya perdamaian adalah sikap Korea Utara yang terus berpegang pada program nuklirnya. Hingga tahun 2020, Korea Utara telah melakukan enam uji coba nuklir dan sejumlah provokasi militer, termasuk penembakan turis di Gunung Keumgang, penyerangan kapal perang Angkatan Laut Cheonan, dan serangan artileri ke Pulau Yeongpyeong (Asi et al., 2023). Tindakan ini menunjukkan bagaimana Korea Utara menjadikan senjata nuklir sebagai alat utama untuk mempertahankan rezimnya di tengah tekanan internasional.

Harapan untuk perdamaian sempat menguat pada tahun 2018 dengan adanya Deklarasi Panmunjom. Pertemuan puncak antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menjadi tonggak sejarah dalam hubungan kedua negara. Secara garis besar, deklarasi ini berisikan beberapa janji serta komitmen yang dibangun oleh kedua Korea untuk mengakhiri perpecahan yaitu dengan perdamaian yang bersifat permanen, berjanji untuk kembali melakukan kerjasama dan upaya kedua Korea untuk mewujudkan denuklirisasi di kawasan Semenanjung Korea (Lam’anah & Alfian, 2023). Deklarasi Panmunjom awalnya menciptakan harapan positif bagi proses perdamaian dan denuklirisasi di Semenanjung Korea. Langkah awal seperti pembukaan kantor penghubung bersama dan penghentian sementara uji coba nuklir Korea Utara membawa angin segar bagi proses perdamaian.

Namun, optimisme ini dengan cepat meredup. Implementasi Deklarasi Panmunjom mengalami kebuntuan karena kurangnya kesepakatan konkret mengenai langkah-langkah denuklirisasi dan pencabutan sanksi ekonomi. Selain itu, ketegangan meningkat ketika Korea Utara meledakkan kantor penghubung yang menjadi simbol komunikasi kedua negara pada tahun 2018 (Lam’anah & Alfian, 2023). Keputusan sepihak ini mencerminkan rasa frustrasi Korea Utara terhadap dugaan kurangnya kontrol Korea Selatan atas kelompok pembelot yang menyebarkan propaganda ke wilayah perbatasan. Perilaku Korea Utara yang tidak dapat diprediksi semakin memperumit upaya diplomasi. Alih-alih menunjukkan rasionalitas yang diharapkan dalam proses denuklirisasi, Korea Utara terus mengadopsi pendekatan agresif yang melanggar kesepakatan dalam Deklarasi Panmunjom. Tindakan ini menegaskan bahwa upaya perdamaian di Semenanjung Korea tidak hanya membutuhkan kesepakatan formal, tetapi juga komitmen yang nyata dari kedua belah pihak untuk menahan diri dan membangun kepercayaan.

Selain itu, tantangan diplomasi Korea Selatan tidak hanya berasal dari hubungan bilateral dengan Korea Utara, tetapi juga dari ketidakpastian dukungan Amerika Serikat. Sebagai sekutu utama Korea Selatan, kebijakan AS terhadap Korea Utara sering kali tidak konsisten, bergantung pada perubahan administrasi di Washington. Pada masa pemerintahan Trump, dialog langsung dengan Kim Jong-un menjadi pendekatan baru, tetapi tanpa hasil yang signifikan. Sementara itu, pemerintahan Biden lebih fokus pada pendekatan multilateral yang melibatkan Cina dan Rusia, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan. Selain ketidakpastian geopolitik, dinamika internal di Korea Selatan juga menjadi tantangan. Dukungan publik terhadap pendekatan diplomasi damai cenderung fluktuatif, bergantung pada perkembangan hubungan bilateral dan ancaman keamanan. Administrasi yang berbeda di Seoul sering kali membawa perubahan dalam strategi, menciptakan tantangan dalam menjaga kesinambungan kebijakan

Untuk mencapai denuklirisasi yang nyata, Korea Selatan perlu mengadopsi pendekatan baru yang lebih strategis dan fleksibel. Pendekatan multilateral yang melibatkan Cina, Rusia, Jepang, dan bahkan ASEAN, dapat menjadi kunci untuk menciptakan tekanan kolektif terhadap Korea Utara. Selain itu, penguatan dialog antar-Korea harus disertai dengan upaya yang lebih serius untuk membangun kepercayaan, seperti kerjasama di bidang ekonomi dan kemanusiaan. Diplomasi bukan hanya soal negosiasi di meja perundingan, tetapi juga soal menciptakan kondisi yang memungkinkan perdamaian bertahan dalam jangka panjang. Di tengah ketidakpastian ini, peran Korea Selatan sebagai fasilitator perdamaian tetap krusial. Meski tantangan yang dihadapi tidak sedikit, harapan akan Semenanjung Korea yang bebas nuklir harus terus menjadi tujuan utama, demi stabilitas kawasan dan masa depan generasi mendatang.

 

Oleh: Nidya Eka Putri

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *