Multikulturalisme di Korea Selatan dan Tantangannya di Tengah Homogenitas Budaya

Sumber foto: Korea Expose
Korea Selatan secara tradisional dikenal sebagai negara yang sangat bangga dengan identitas budaya, etnis, dan bahasa yang homogen. Bagi masyarakat Korea, homogenitas ini dianggap sebagai fondasi utama dari konsep “Koreanness,” yang menjadi simbol identitas nasional mereka. Nasionalisme Korea telah menjadi tonggak kebanggaan, kemerdekaan, dan persatuan, terutama setelah pengalaman pahit 30 tahun penjajahan Jepang dan Perang Korea yang membelah negara menjadi dua wilayah dengan pengaruh asing yang kuat, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Nasionalisme ini berfungsi sebagai alat ideologis yang efektif dalam memperkuat kohesi sosial dan memacu pembangunan ekonomi. Namun, dinamika homogenitas ini mulai berubah perlahan sejak awal 2000-an.
Perubahan tersebut dipicu oleh kemajuan ekonomi yang membuat masyarakat Korea enggan mengambil pekerjaan kasar, kotor, dan berbahaya (3-D jobs: difficult, dirty, dangerous) seperti buruh pabrik, pekerja restoran, dan petugas kebersihan. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor ini, pemerintah Korea Selatan mulai membuka pintu bagi pekerja asing. Pada tahun 2008, tercatat sekitar 639.000 pekerja migran di Korea Selatan, yang mayoritas berasal dari Cina, Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Filipina. Fenomena ini menandai awal terbentuknya masyarakat yang lebih beragam secara etnis di Korea Selatan (Kim & So, 2018).
Dalam hal ini, multikulturalisme muncul sebagai gagasan yang merayakan keberagaman etnokultural dan mendorong masyarakat untuk menerima serta menghargai tradisi, musik, dan makanan dari berbagai budaya. Namun, perkembangan perspektif multikulturalisme di Korea Selatan tidak lepas dari tantangan historis dan sosial yang kompleks. Dalam praktiknya, multikulturalisme di Korea lebih menitikberatkan pada asimilasi ketimbang upaya mempertahankan warisan budaya minoritas atau memberikan kesetaraan peluang (Kurniasih et al., 2024). Pemerintah Korea Selatan memang telah mulai mengintegrasikan nilai-nilai multikultural dalam kurikulum pendidikan, tetapi pendekatan ini cenderung berorientasi pada adaptasi budaya minoritas ke dalam budaya dominan Korea.
Paradoks yang menarik muncul ketika masyarakat Korea Selatan, yang mulai multikultural secara realitas, tidak serta merta mengadopsi pandangan multikulturalis. Salah satu bentuk diskriminasi yang mencolok adalah terhadap para pengungsi Korea Utara. Mereka sering kali mengalami marjinalisasi karena perbedaan dialek (satori) dan latar belakang sosial-ekonomi yang tertinggal (Anindita, 2020). Dengan aksen khas dan keterbatasan dalam menghadapi tuntutan masyarakat maju, para pengungsi ini sering kali terisolasi dari masyarakat Korea Selatan. Situasi ini mencerminkan bagaimana homogenitas budaya yang kuat dapat menciptakan eksklusi bagi kelompok yang dianggap “berbeda”.
Sikap xenofobia juga menjadi salah satu hambatan utama dalam mengembangkan multikulturalisme di Korea Selatan. Nasionalisme dan etnosentrisme yang telah mengakar dalam identitas nasional Korea sering kali memperkuat persepsi bahwa keanekaragaman merupakan ancaman bagi keberlanjutan budaya Korea. Ideologi nasionalistik ini, meskipun berhasil menyatukan masyarakat Korea dalam menghadapi tantangan global, juga berfungsi sebagai penghalang bagi penerimaan perbedaan. Migran, imigran, dan kelompok minoritas sering kali dianggap sebagai “others” yang dapat mengganggu kemurnian budaya Korea.
Selain itu, multikulturalisme di Korea Selatan cenderung bersifat top-down, didorong oleh kebijakan pemerintah yang lebih bersifat pragmatis daripada prinsipil. Kebijakan multikulturalisme sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mendukung kepentingan ekonomi dan keamanan negara, bukan sebagai upaya nyata untuk menciptakan masyarakat inklusif. Akibatnya, multikulturalisme di Korea Selatan lebih sering menjadi slogan politik daripada langkah transformasi sosial yang substansial. Bahkan, pada tahun 2006, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial mengidentifikasi bahwa Korea Selatan belum memiliki mekanisme yang memadai untuk menangani isu-isu terkait non-Korea (Kim & So, 2018).
Meski demikian, peluang besar terbuka bagi Korea Selatan untuk menerima kenyataan heterogenitas sosial yang semakin meningkat dan mengembangkan visi baru tentang multikulturalisme. Proses ini jelas tidak mudah, mengingat akar identitas nasional Korea yang sangat kuat dan kepercayaan mendalam akan homogenitas budaya. Namun, dengan kesadaran dan komitmen yang tepat, masyarakat dan pemerintah Korea Selatan dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana keberagaman dihormati sebagai kekuatan dan bukan ancaman. Masyarakat Korea Selatan perlu melihat keberagaman sebagai aset untuk memperkuat posisi mereka di dunia yang semakin terhubung.