Mengapa Cancel Culture Begitu Kuat di Industri Hiburan Korea Selatan?

Sumber foto: The Economist
Cancel Culture – Siapa yang masih ingat kehebohan saat Kim Seon-ho terkena cancel culture usai mengalami skandal pemaksaan aborsi dengan mantan pacarnya? Atau bagaimana Kim Ji-soo terseret kasus perundungan atau bullying?
Ya, industri hiburan Negeri Ginseng bukan hanya mempertontonkan wajah rupawan dan keahlian para selebriti, tetapi juga cancel culture, budaya pemboikotan atau pengenyahan bagi mereka yang dinilai telah berbuat kesalahan fatal. Misalnya, bersikap diskriminatif, menyinggung suatu hal yang sensitif, hingga melanggar hukum.
Apa itu cancel culture dan mengapa budaya ini begitu kuat di Korea Selatan? Mari kita baca sampai akhir untuk menjawab rasa penasaran kamu!
Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture merujuk pada upaya penolakan yang dilakukan secara massal kepada seseorang atau perusahaan karena telah melakukan tindakan yang dinilai tidak pantas maupun menyinggung sesuatu.
Keberadaan sosok tersebut di ruang publik ditolak oleh masyarakat karena yang bersangkutan telah berperilaku negatif. Masyarakat memilih berhenti mendukung figur publik akibat kasus atau skandal yang menimpa orang tersebut. Pemboikotan tersebut akan berujung pada meredupnya karier sang figur publik. Bahkan, banyak dari mereka yang terkena cancel culture berhenti total dari dunia hiburan.
Sejarah Cancel Culture
Film rilisan tahun 1991, “New Jack City” menyelipkan lelucon misoginis pada salah satu adegannya. Bos narkoba, Nino Brown, dicaci kekasihnya akibat rentetan pembunuhan yang ia lakukan. Sebagai reaksi atas kejadian itu, Nino mengucurkan minuman ke kepala sang kekasih seraya berucap, “Cancel that bitch. I’ll buy another one!” Bisa jadi inilah referensi pertama tentang upaya pembatalan seseorang yang menjadi cikal bakal cancel culture.
Namun, istilah ini bisa pula dianggap sebagai bentuk evolusi boikot, demikian dijelaskan The Private Therapy Clinic. Pemboikotan biasanya dilakukan atas kesepakatan bersama dan secara kolektif oleh masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Ini merupakan upaya perlawanan terhadap figur publik yang dinilai bersalah dengan menuntut sosok tersebut bertanggung jawab atas kesalahannya. Belakangan, fenomena cancel culture merajalela di media sosial, khususnya Twitter dengan fitur trending topic untuk menggerakkan isu tertentu.
Alhasil, budaya pemboikotan berfungsi sebagai alat keadilan sosial bagi sebagian kalangan. Dengan dukungan kekuatan media sosial, publik merasa berhak menilai, menghakimi, dan mengucilkan pihak tertentu yang dianggap bersalah dan menuntut pertanggungjawaban dari mereka atas perbuatannya.
Cancel Culture di Korea Selatan
Korea Selatan menjadi salah satu negara yang menjalankan cancel culture terhadap figur publik, khususnya dalam industri hiburan. Ada beberapa penyebab mengapa selebriti Korea Selatan bisa terkena pemboikotan, antara lain:
- Tindakan bullying atau perundungan
- Driving Under the Influence (DUI)
- Pelecehan seksual
- Kasus percintaan (perselingkuhan, hubungan tidak sehat, aborsi)
- Penyalahgunaan obat terlarang.
Namun, mengapa budaya pemboikotan begitu kuat dalam industri hiburan Korea Selatan?
Mengutip Korea Times, seorang profesor sosiologi dari Universitas Kyung Hee, Song Jae-ryong menyatakan bahwa selebriti Korea adalah korban ekspektasi tinggi masyarakat kolektif yang menjunjung kepatuhan dan konformitas. Menjadi berbeda bukanlah sesuatu yang disukai mayoritas penduduk Korea. Sementara itu, selebriti Korea begitu menarik perhatian publik dan menonjol.
Masyarakat pun menaruh harapan tinggi kepada figur publik dan cenderung kurang toleran atas kesalahan moral atau etika yang dilakukan. Kim Hern-sik, kritikus budaya populer memperkuat hal ini dengan menyatakan bagaimana struktur sosial kolektif masyarakat Korea memposisikan standar moral di atas privasi perorangan. Maka, figur publik harus tunduk pada kode etik dan norma yang ketat.
Dengan struktur media terpusat, begitu ada beberapa media mengangkat suatu permasalahan, berita itu akan menyebar cepat dan segera berdampak besar. Kemunculan media sosial makin mempercepat penyebaran rumor dan skandal. Kecenderungan orang Korea berkumpul dalam kelompok terlihat saat mereka merespons skandal figur publik lewat media sosial.
Belakangan, media sosial berkembang sebagai sarana membangun opini publik. Begitu publik merespons negatif atas suatu kasus yang menimpa selebriti secara online, dalam waktu singkat jaringan TV maupun bisnis bertindak cepat dengan memberhentikan selebriti itu dari berbagai proyek film, serial, dan iklan. Langkah ini ditempuh supaya perusahaan yang bekerja sama dengan selebriti tidak terkena imbas atas isu negatif tadi.
Ha Jae-gun, juga kritikus budaya populer, mengungkapkan bagaimana publik merasa telah berbuat benar dengan menempatkan selebriti yang terkena skandal berhenti bekerja. Ada semacam rasa kepuasan bagi sebagian masyarakat saat sang selebriti tidak dapat melanjutkan kariernya.
Namun, cancel culture di Korea Selatan tidak melulu menjadi hal buruk. Selebriti Korea menganggap serius budaya ini, berusaha menjaga sikap dan perilaku sebaik mungkin mengingat dampak sosialnya pun juga besar. Mereka juga belajar bagaimana menangani skandal atau isu negatif tersebut dan tidak segan meminta maaf ke hadapan publik untuk mengakui kesalahannya.