Korea Selatan adalah salah satu negara yang terkenal dengan etos kerja kerasnya. Jam kerja panjang dan tingkat produktivitas tinggi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan pekerja Korea. Berdasarkan data dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Korea Selatan pernah berada di peringkat atas dalam daftar negara dengan jam kerja terlama di dunia. Fenomena ini menjadi salah satu faktor di balik transformasi ekonomi Korea Selatan dari negara berkembang pasca-Perang Korea menjadi salah satu kekuatan ekonomi global. Namun, di balik keberhasilan tersebut, tersimpan persoalan besar yang tidak bisa diabaikan: dampak negatif budaya kerja overwork terhadap kesehatan mental masyarakat.
Budaya kerja yang menuntut dedikasi penuh ini bukan muncul tanpa alasan. Sejak tahun 1960-an, ketika Korea Selatan memulai program industrialisasi besar-besaran yang dikenal sebagai “Keajaiban Sungai Han,” pemerintah mendorong masyarakat untuk bekerja lebih keras demi membangun negara yang sempat porak-poranda akibat perang. Chaebol atau konglomerat besar seperti Samsung, Hyundai, dan LG memainkan peran penting dalam proses ini, menciptakan lapangan kerja dalam skala besar tetapi juga menanamkan budaya loyalitas dan dedikasi absolut kepada perusahaan.
Dalam budaya kerja Korea, konsep bali bali (yang berarti cepat-cepat) menjadi norma. Pekerja dituntut untuk menyelesaikan tugas mereka dengan efisiensi tinggi dan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Selain itu, loyalitas terhadap perusahaan sering kali diukur dari seberapa lama seseorang bertahan di kantor, bahkan jika pekerjaan mereka telah selesai. Fenomena ini menyebabkan jam kerja yang tidak sehat menjadi standar dalam dunia kerja.
Dampak Positif dari Budaya Kerja
Tidak dapat disangkal bahwa budaya kerja keras ini berkontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi Korea Selatan. Dalam beberapa dekade, Korea Selatan berhasil mentransformasi dirinya menjadi salah satu negara industri maju dengan pendapatan per kapita yang signifikan. Produk-produk Korea seperti smartphone Samsung, mobil Hyundai, dan peralatan elektronik LG menjadi simbol keberhasilan inovasi yang didorong oleh etos kerja tinggi masyarakatnya.
Selain itu, budaya kerja keras ini juga memungkinkan Korea Selatan menjadi pemimpin dalam pengembangan teknologi dan riset. Banyak perusahaan Korea yang berinvestasi besar-besaran dalam inovasi, menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dengan latar belakang ini, tidak mengherankan bahwa Korea Selatan sering dijadikan model bagi negara-negara lain yang ingin mempercepat pembangunan ekonomi mereka.
Krisis Kesehatan Mental yang Mengintai
Namun, keberhasilan ekonomi ini memiliki harga yang mahal. Banyak pekerja Korea mengalami dampak negatif dari budaya kerja overwork, mulai dari kelelahan kronis hingga masalah kesehatan mental yang serius. Fenomena gwarosa atau kematian akibat kerja berlebihan menjadi isu yang sering dibahas di media. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus pekerja yang meninggal karena jam kerja yang tidak manusiawi telah menjadi sorotan internasional.
Tekanan untuk selalu tampil produktif juga menyebabkan lonjakan tingkat stres, depresi, dan gangguan kecemasan. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), Korea Selatan memiliki salah satu tingkat bunuh diri tertinggi di dunia, dan banyak dari kasus ini terkait dengan tekanan kerja. Para pekerja sering merasa terjebak dalam lingkaran kompetisi yang tidak sehat, di mana kegagalan untuk memenuhi standar tinggi dianggap sebagai bentuk kegagalan pribadi.
Generasi muda Korea juga tidak luput dari dampak ini. Banyak dari mereka merasa kehilangan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan. Fenomena burnout menjadi hal yang umum, terutama di kalangan pekerja muda yang baru memasuki dunia kerja tetapi sudah menghadapi tuntutan yang sangat tinggi.
Respons Pemerintah dan Masyarakat
Menyadari masalah ini, pemerintah Korea Selatan telah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi budaya kerja overwork. Salah satu langkah signifikan adalah pengurangan jam kerja maksimum mingguan dari 68 jam menjadi 52 jam pada tahun 2018. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan pekerja lebih banyak waktu untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Selain itu, gerakan untuk mempromosikan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi semakin populer di kalangan masyarakat. Generasi muda, khususnya, mulai mempertanyakan nilai dari budaya kerja keras yang tidak sehat. Banyak dari mereka yang mendukung konsep work-life balance dan bahkan mempopulerkan fenomena quiet quitting, di mana mereka hanya bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan mereka tanpa merasa perlu melampaui batas.
Budaya healing juga mulai tumbuh di Korea Selatan. Melalui K-Drama, media sosial, dan tren traveling, masyarakat mulai menyadari pentingnya meluangkan waktu untuk diri sendiri. Restoran, kafe, dan pusat hiburan yang menawarkan suasana relaksasi semakin populer, menjadi tempat pelarian bagi mereka yang ingin sejenak melarikan diri dari tekanan sehari-hari. Budaya kerja overwork di Korea Selatan adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, budaya ini berkontribusi besar terhadap kesuksesan ekonomi negara. Namun, di sisi lain, dampak negatif terhadap kesehatan mental masyarakat tidak bisa diabaikan. Dalam era modern ini, penting bagi Korea Selatan untuk menemukan keseimbangan antara mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan memastikan kesejahteraan masyarakatnya.
Negara-negara lain dapat belajar dari pengalaman Korea Selatan bahwa kemajuan ekonomi tidak seharusnya dicapai dengan mengorbankan kesehatan mental masyarakat. Dengan memperhatikan isu-isu seperti ini, diharapkan Korea Selatan dapat menjadi contoh bagaimana negara maju mampu menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan berkelanjutan bagi seluruh warganya.